Sunday, September 19, 2010

Sebuah Pernyataan Tanpa Pertanyaan

Selama ini saya menulis dalam bahasa Inggris. Kali ini, izinkan saya menulis dalam bahasa Indonesia. Meskipun tidak jelas sebenarnya saya meminta izin pada siapa, tulisan ini saya buat semata-mata karena saya ingin mengungkapkan pendapat pribadi saya. Saya yang bukan siapa-siapa. Saya yang mungkin bodoh di mata beberapa orang. Saya yang sukar dinasehati dan terkadang terlalu idealis. Saya yang memiliki banyak keburukan. Tapi, ini adalah sebuah blog. Setiap orang berhak memberi opini, meski saya yakin opini ini akan bersinggungan dengan prinsip beberapa orang, termasuk Anda yang membaca tulisan sampah saya ini.

Saya, sedikit banyak (tidak konsisten, sedikit atau banyak sebenarnya), telah berubah. Baik dari cara berpikir maupun cara saya bergaul. Kalau Anda adalah penikmat tulisan saya (demi Tuhan, jika Anda memutuskan untuk tidak membaca kelanjutannya, saya sangat maklum), Anda mungkin tahu latar belakang keluarga saya dan gambaran masa kecil saya yang saya jelaskan di post sebelumnya. Jika Anda melewatinya, silahkan klik di sini: http://lou-in-circle.blogspot.com/2010/09/you-wish-you-could-but-you-just-cant.html 

Berangkat dari latar belakang saya, saya akan membeberkan pendapat saya. Ini juga merupakan pernyataan saya terhadap dunia (sadis juga...). Saya merasa saya dibesarkan di keluarga yang biasa-biasa saja. Dalam arti kata, bukan keluarga religius. Mama saya tidak pernah sekali pun tertarik ikut shalat Ied. Bukan berarti Mama saya tidak beribadah, tapi memang beliau tidak pernah beribadah shalat Ied. Mama saya memilih shalat di rumah daripada di masjid, karena menurutnya wanita lebih baik shalat di rumah, mengikuti ajaran Nabi. Jadi, saya menyimpulkan bahwa Mama saya adalah seorang hamba yang beribadah sesuai apa yang diyakininya. Almarhum Papa saya tidak bisa mengaji, tapi Papa saya sangat keras dalam urusan shalat. Berani meninggalkan shalat, berarti saya harus bersiap menerima hukuman darinya. Yang saya maksud di sini adalah, kedua orangtua saya mengajari saya sebaik yang mereka tahu. Itu saja. Soal implementasi dan refleksi diri di masyarakat (keren ya bahasa saya!) itu tergantung pada masing-masing individu, dalam hal ini, saya. Jadi, saya merasa jika ada seorang anak yang seumpamanya, nyeleneh atau memberontak dari semua ajaran orangtuanya (yang baik tentunya), tidaklah bijak jika kita "menilai" atau lebih buruk lagi menghakimi dengan: Kenapa sih anak itu, kan orangtuanya udah haji. Itu anak kok nggak ada baik-baiknya kayak bapaknya yang ustad itu. Ibunya sih anggun banget, anaknya kok kayak laki-laki gitu. 
Maksud saya begini, rasanya sudah saatnya kita mengubah paradigma kita. Meski contoh yang saya sebutkan di atas masih terjadi di masyarakat, bukan berarti kita harus mengikuti mainstream (ini lebih keren disebut dalam bahasa Inggris, maaf ya bukan mau sok) yang ada. Perlu kekuatan dan keberanian untuk melawan arus dan membuat perbedaan. Nah, kalau dengar kalimat sebelumnya, Anda akan tahu betapa idealisnya saya. 

Yang saya tulis di atas sebenarnya hanya pembukaan. Ya Tuhan, kapan tulisan ini selesai????? Tenang, kalau Anda bosan, Anda bisa menyeduh kopi atau teh dulu... Atau kalau Anda sudah kehilangan minat, silahkan tinggalkan blog ini. Tapi, sebenarnya saya berharap Anda menyelesaikan bacaan Anda.

Yang ingin saya sampaikan sebenarnya adalah betapa saya sangat membenci orang-orang yang merasa berhak menghakimi. Sebenarnya, dalam jiwa setiap orang, secara tidak sadar, karena hal ini sangat alamiah, kita memiliki kecenderungan "menilai" sesuatu. Itulah yang disebut sebagai pendapat, opini, tanggapan, you name it. Akan tetapi, beberapa orang dapat menahan diri untuk mengeluarkan pendapatnya setelah mereka "menganalisa" atau mencari tahu "mengapa apa/siapa kenapa". Misalnya "Mengapa Keenan memukul Sinta?" Bukannya Keenan tidak bersikap seperti pria sejati, karena dia memukul Sinta. Maaf, contoh saya sedikit ekstrim. 

Dulu, ketika saya lebih muda, saya sangat berapi-api (sekarang juga, sih.. hehehehe). Tapi, dulu, berapi-apinya saya lebih karena ketidakmatangan jiwa saya (sok tau ni ye...). Saat kejadian 9/11 di Amerika Serikat, saya menjabat sebagai seksi jurnalistik OSIS sekolah (oh, betapa "tua"nya saya sekarang *terisak-isak*). Waktu itu, saya dan teman saya, Icha, sama-sama terobsesi dengan fakta-fakta di balik penyerangan tersebut, termasuk beberapa teori konspirasi. Maklum, pada saat itu saya masih 16 tahun dan 9 bulan. Apa yang kau ketahui, wahai anak 16 tahun?! Saya sempat membenci "agama" tertentu. Padahal menurut saya yang sekarang, "agama" tertentu itu bukanlah yang harus kita benci. Individulah yang berperan dalam sebuah pencitraan atau image. Saya baru bisa menerima bahwa kejadian 9/11 adalah sebuah tragedi kemanusiaan setelah ada kejadian bom Bali di tahun 2002. Pada saat itu, saya sadar bahwa kita tidak perlu membuat "penilaian" terhadap sesuatu. Karena sebenarnya, "penilaian" itu tidak penting. Tindakanlah yang lebih penting.

Dulu, sewaktu saya lebih muda dan tidak dewasa, saya lebih "kejam" dalam pergaulan. Kalau saya merasa "tidak cocok", saya akan menjauh begitu saja. Sekarang saya juga seperti itu, tapi, saya akan mencoba "menyesuaikan" frekuensi dulu sebelum menjauh. Pendek kata, sekarang saya lebih humanis, selain fakta bahwa saya memang manis... (Saya beri Anda kesempatan untuk muntah)
Dalam bergaul, jika istilah ini diizinkan, saya termasuk "autis". (Saya tidak menggunakan istilah ini untuk mengejek siapa pun. Karena saya berhadapan dengan beberapa anak berkebutuhan khusus ini). Saya memiliki dunia sendiri, yang terkadang dari luar, saya terlihat sangat cuek, tidak besahabat, tidak memiliki toleransi dan tidak terbuka. Sebenarnya itu adalah cara saya untuk melindungi diri. Saya selalu berkata, "You don't know  the half of me." Saya tidak memiliki koleksi sahabat. Bagi saya berteman bukan harus memiliki. Kalau sahabat Anda menyakiti Anda, ada dua pulihan. Sakiti dia, atau maafkan dia. Soal apakah Anda akan melupakan perbuatannya, itu urusan Anda dan memori otak Anda. Dulu, saya dan dua orang teman saya mempunyai masalah dengan seorang teman, sebut saja namanya Putri. Masalah memuncak ketika saya dan dua teman saya "memutuskan" hubungan. Waktu itu belum ada facebook, jadi kami memutuskan untuk menghapus nomor hpnya saja. Dan seiring waktu berlalu, terima kasih pada memori otak yang menghapus kejadian itu dari benak kami bertiga, kami pun lupa bahwa kami pernah bertengkar dengan Putri. Jadi kalau sekarang kami teringat kejadian Putri-gate, kami justru malah tertawa mengingat betapa tidak dewasanya kami. Intinya, saya merasa sahabat atau teman tidak akan selalu ada untuk kita. Saya tahu saya sering sekali berpikir sarkastik. Tapi ini bukan salah satu dari pemikiran sarkastik saya. Ini adalah yang saya sebut dengan logika. Setiap orang akan disibukkan dengan ide dan mimpinya masing-masing, ini akan mengarah ke ego dan kepentingan pribadi. Saya rasa, kebanyakan orang akan mementingkan prioritasnya terlebih dahulu. Itu saja.  
Selanjutnya saya akan membahas pemikiran saya yang mungkin lebih ekstrim... hehehehe

Berangkat dari kutipan saya, "You don't know the half of me", saya ingin menegaskan bahwa saya bukan orang yang religius. Saya mungkin lebih berdosa dari seorang pembunuh berantai (maaf, lagi-lagi contoh saya ekstrim). Tapi biarlah itu menjadi urusan saya dengan Tuhan. Hubungan yang lebih intim dan rahasia daripada hubungan antarmanusia. Ini merupakan hubungan yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun. Dan sujujurnya, saya sangat terganggu dengan "kejadian" di salah satu jejaring sosial. Natal tahun lalu (termasuk Valentine's Day), beberapa orang teman memasang note atau status tentang "haram"nya mengucapkan atau merayakan sesuatu yang tidak ada dalam ajaran islam. Maksud teman-teman tentunya adalah sebagai syiar dan dakwah. Saya tidak bermasalah dengan dakwah. Bahkan saya sangat senang jika ada yang berbagi soal agama. Yang saya sesali adalah caranya. Memang, dalam berdakwah, kita tidak perlu "takut" atau "bersembunyi", tapi bukankah kita juga tidak boleh "menyakiti"? Beberapa teman kristiani saya menulis, "Nggak usah maksa ngucapin kalo takut dosa. Repot amat." Meski beberapa teman muslim masih mengucapkan selamat hari raya bagi mereka, saya rasa saya tidak perlu memborbardir wall dengan "fatwa". Saya rasa tiap orang dewasa bisa bertanggung jawab dengan pilihannya. Sekali lagi, hubungan Tuhan-manusia tidak boleh diganggu gugat.

Masih soal "agama" dan orang yang merasa berhak menghakimi. Saya punya pertanyaan besar, "Kenapa masyarakat kita senang 'menghakimi' wanita berkerudung?" Kalau terus seperti ini, bisa-bisa nanti banyak wanita tidak berkerudung. Lho? Kok begitu? Kenapa? Sekarang begini, kalau ada seorang wanita berkerudung "berpacaran" (peluk-peluk, nyender-nyender, pegangan tangan, sampai yang ke arah mesum), berapa banyak dari Anda yang berkata, "Ih! Nggak malu ya ama kerudung?!" Malu, kok, sama kerudung? Kalau begitu sekalian saja malu sama sepeda, laptop, atau kucing. Atau kalau ada seorang "jilbaber" (yang kerudungannya panjang itu, lho) bercerai dari suaminya, lantas beberapa dari masyarakat berkata, "Nggak nyangka ya, dia melakukan perbuatan yang dibenci Allah." Hei, siapa juga yang mau bercerai. Please, jangan membentuk sebuah ekspektasi bahwa seorang wanita berkerudung itu mesti melakukan hal yang lebih baik daripada wanita tidak berkerudung. Nah, apakah Anda termasuk hakim-wanita-berkerudung?


Saya sendiri memakai kerudung. Tapi maaf, kerudung ini saya pakai untuk saya sendiri. Bukan untuk memenuhi ekspektasi orangtua, tuntutan pekerjaan, atau bahkan untuk Tuhan. Tidak, Tuhan tidak perlu saya memakai kerudung. Dia tidak perlu siapapun. Justru, kita yang oerlu Dia. Saya dijuluki anti-mainstream-liberalist oleh salah seorang teman saya. Alasannya karena saya tidak seperti para wanita berkerudung lainnya. Saya gay-friendly, saya lebih suka musik yang terkadang aneh, saya menghabiskan waktu untuk kesenangan dunia (siapa yang tidak?!), saya menyumpah (meskipun saya menggunakan kata-kata lain, tetap saja maksud saya menyumpah), saya... saya... Saya melakukan hal-hal mendefinisikan "Inilah Saya". Jika itu membuat saya terlalu liberal, maaf. Tapi itulah saya. Saya masih suka berkeliaran tanpa kerudung (sejak memutuskan untuk memakai kerudung), jika saya sedang ingin melakukannya. Saya "nakal", apapun cap orang tentang saya, saya terima saja. Satu hal yang ingin saya sampaikan: Saya sangat benci orang yang berkata, "Sekalian aja lepas. Nggak usah setengah-setengah." Saya benci ucapan itu, terutama kalau berasal dari mulut seorang pria. Hei, pria, kau tidak akan pernah tahu rasanya memakai dan melepas kerudung. Tahukah Anda efek dari ucapan ini? Akan banyak wanita yang mengurungkan niatnya untuk belajar "memakai" kerudung. Dan untuk wanita tidak berkerudung yang berkata, "Gue sih belom make karena belom dapet hidayah", saya ingin menyampaikan, "Woy, yang boneng aje, lu kira hidayah dijatohin, pluk, gitu aje?". Intinya, tidak perlu membela diri, karena wanita berkerudung (yang se-visi dengan saya), tidak menghakimi kalian. Karena saya juga dalam proses belajar, Anda juga bisa belajar "memakai" kerudung. 


Saya minta maaf jika tulisan saya menyinggung. Saya hanyalah seorang manusia biasa yang berusaha menempatkan diri dengan nyaman di dunia ini. Karena menurut saya, kenyamanan terhadap diri sendiri sangat penting untuk menikmati hidup. Dengan demikian kita bisa memberi yang terbaik dari kita untuk masyarakat. Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi orang di sekitarnya?


Salam damai, 


Lou



   

Sunday, September 12, 2010

You Wish You Could, But You Just Can't

Hiya!!!
I'm here again bloggers...
You wish you could, but you just can't... Is that killing you? Well it IS killing me!!!
What the hell am i talking about???

Okay, have you got any dreams, goals, or obsessions that you really wish you could do, have, or whatever? Well, i have.
Other than the ability to sing well (i can sing alright in karaoke hahahaha, but not well), i really wish i could dance. 
Now what you're gonna do is saying, "You can learn to do it. Practice...and practice..." I'm so sorry, but that's not gonna happen because i can't.
The next best piece of advice is, "Well, it's all in your mind. Change the way you think about it. Be positive, have another point of view, blah blah balah..." Sorry, again... that won't work for me. Why am i so cynical? No, i'm not being cynical. I'm just being realistic... Okay, sarcastically realistic... Here's why:

It all goes back to my childhood. I didn't spend my childhood as a girl who spent time taking piano lesson or dancing. But, i didn't spend my time climbing trees or playing with the boys. No. I wasn't the girly type nor was i a tomboy girl. I loved the Me-Time compared to other kids. I didn't mind being alone. In fact, i hated it when people asked me. I guess i didn't like people treating me like a kid (hey, you were a KID for God's sake!) or people nosing on my "business". What an OLD kid i was, eh?
Sometimes, well, often times, my parents pinched me or stepped on my foot to give me signal that i HAD TO answer the questions. Yea, and the stubborn-born-to-be-rebelious girl ignored the signs every now and then. Oh, i was hard to handle... Dear God, should i have a kid of my own, please don't give me the Karma *finger crossed*. Coming from that kind of background, i never put any interests in dancing.

Not until the mid to late 90s, my Middle School time. It was the era of boybands. Yes, people... I listen to boybands, too! My favorite was 911. A British boyband consists of 3 cute (and smallish) lads. 

 I like them because their dancing is more unique than other boybands. They did break dance, too! And also, i would like to thank them. If it weren't for them, i would never be able to speak English. Oh, it was my nemesis, see. Couldn't stand a period of English at school back in the Middle School. 

Then, the era of boybands swifted into the era of...whatever... In the beginning of 2000s, there was this show on MTV: The Wade Robson Project. Wade Robson? Who the hell is that guy??? He is the little kid dancing next to Macaulay Culkin in Michael Jackson's Black or White video. That rings a bell? WADE ROBSON!!!! AAAHHH!!!! MARRY ME!!!!!

Okay, this sexy looking guy is a really great dancer. He's so effing hot!!! Well, i wished i could participate in this show.  He is influenced by His Majesty King of Pop Michael Jackson of course, and so are all dancers in the world, i assumed. Watching the show can do nothing about my dancing ability.  









Then, in 2003, during my college time and my working time at ELP, a small English institution (thanks to 911, again!), i met Mondang. A coworker-turned-out-a-senior-in-High-School. She loves dancing a great deal. She created a "routine" and i tell you what, it was awesome, and you can only envy us. Now, i sound like a bitchy fricking cheerleader, don't i? There were four of us, Mondang, Poppy, Nur and me, who practiced the routine after class. We used a song from a British (again?!) rising star at that time, Daniel Bedingfield called Gotta Get Thru' This.




Mondang, by my help, created the movements in about two weeks, with changes here and there and of course, to "train" us everytime she got new movements. Hey, how come i "helped" her?! Hahahaha, i lent her some video clips with dancing in them. Some movements were taken from 911's Nothing Stops the Rain video and Steps' After The Love Has Gone video. And yes, Steps is a pop group from Britain...
Long story short, i really loved that time, when i "worked" my a** off to get myself in line with other girlfriends of mine who have dance as their breakfast.


And, as i just finished watching a (WHAT?!) British series, Skins. I met this guy:
He is Mitch Hewer who potrays Maxxie, a gay teenage dancer. The picture above is taken from one of the episodes of Season 2. His first on screen dance was in the first episode of Season 1 when he was tap dancing as Tony, one of his fellas, called him. He talked on the phone while dancing. At that time, i didn't care for him. Because he looked like one of the High School Musical cast whose name escapes from my memory. Yup, guys... I watched HSM. And, nope, i didn't watch the HSM 2 and 3 in case you're wondering...
In episode 1 of Season 2, he was the "opening". He danced with other fellow dancers and WTF!!! Whoa! That's Fabulous!!! I f***ing love him!!! Besides having nice smile and puppy eyes (though i think he's too cute, too boyish, and too young *sob...sob i feel old...*), he's very athletic. Some guys would kill to have that kind of build, i think... And so... that "i-wish-i-could-dance" comes across my mind like an inspiration.


So now, you gotta think that i should just dance, just like Lady Gaga said. Well, what i mean by dance is like the dance to the music, not the monkey-meet-giraffe movements (don't ask!!!) i make everytime i listen to upbeat songs. 


And then, what is my problem anyway?
Well, i have a problem with balance. Huh? Come again?! I have bad balance. And that problem can be recognized from my eyes... Now, you wonder... What do you have in mind? 


I am near-sighted. And as one, it is imperative that i wear glasses or softlens for that matter. And yes, i do. I wear them. But, the minus of my right eye is higher by five points than that of my left eye. I was LMAO when the optician "diagnosed" me having what he called by "lazy-eye-syndrome". Whoa, that explains why i often tripped (and fell).
During my college years, i had this thing, i tripped so often that my friend Erlina tried to grab my arm everytime i had those "episodes". She would say, "Oh, my dear poor little baby, come walk with Mama..." Nice friend indeed, she is...


Once, there was this little girl. She walked to school with her Mom. Wearing the white and white uniform, she was ALL ready for assembly on Monday morning. Then, as "fate" was written for her (can you sense the cynical here?), she tripped on a rock and fell both knees first on the ground, then both elbows, and as if those weren't enough, she landed on her chin causing not only body injuries, but a big question mark. Yeah, her Mom a.k.a my Mom was wondering what was exactly wrong. Then she came to a conclusion and told me the story of lil' me...


My mom, a weirdly amusing woman, suggests that i didn't learn how to walk or run normally. Unlike regular kids, instead of walking or running, she claimed that "flying" was the closest-to-meaning word to describe what i did. She said i didn't stepped on the ground, but tiptoed and fled which usually resulted in gravity rules (read: i fell). Probably there is something wrong with my brain, hahahaha... Well, that's why i find it difficult to coordinate my body, let alone dance. Pathetic, huh?!


Well, one can only hope...


Thanks for reading this crap...
Hit me back, just to check
Surely yours, 
Lou